- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Pencemaran Logam Berat di Laut Sangihe Mengancam Ekosistem, Pangan, dan Kesehatan Masyarakat

MANADO – Politeknik Negeri Nusa
Utara (Polnustar) bersama Greenpeace Indonesia merilis hasil penelitian terbaru
tentang kondisi perairan Pulau Sangihe. Penelitian ini menunjukkan peningkatan
signifikan kadar logam berat di perairan dan ikan yang mengancam ekosistem,
sumber pangan, dan kesehatan masyarakat.
Kepulauan Sangihe, yang berada di pusat segitiga terumbu
karang dunia, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di
dunia dan telah ditetapkan sebagai area penting secara ekologis dan biologis
(EBSAs). Namun, status penting ini terancam oleh aktivitas pertambangan emas
yang semakin masif.
Laporan ini mencatat adanya alih fungsi lahan yang
signifikan dengan peningkatan luas lahan untuk pertambangan emas mencapai
45,53% antara tahun 2015 hingga 2021. Pembukaan lahan ini menyebabkan erosi
yang membawa material berbahaya ke laut dengan cepat melalui peristiwa runoff yang
ditunjang dengan kontur perbukitan terjal di wilayah pesisir.
Baca Lainnya :
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah0
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann0
- Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun 10 Tahun Terakhir0
- Gerakan Koeksistensi Manusia-Gajah: Hari Gajah Sedunia 2025 di Distrik Tongod, Sabah0
- Bedah Buku dan Film Merawat Harapan di Kampung Halaman0
Hasil uji laboratorium di perairan Teluk Binebas menemukan
konsentrasi logam berat yang telah melampaui baku mutu. Kadar Arsen (As) di
permukaan air laut mencapai 0,0228 mg/L (standar: 0,012 mg/L) dan Timbal (Pb)
mencapai 0,0126 mg/L (standar: 0,008 mg/L). Padahal, berdasarkan dokumen AMDAL
PT Tambang Mas Sangihe (TMS) kandungan Arsen di Sangihe sekitar <0.0003 pada
2017 dan <0.0001 pada 2020. Pencemaran ini berdampak langsung pada ekosistem
pesisir, ditandai dengan kerusakan dan kematian vegetasi mangrove serta
fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching).
“Temuan ini adalah alarm keras. Sangihe, sebuah pulau kecil
dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sedang menghadapi ancaman
kerusakan lingkungan yang sistematis. Situasi ini memerlukan respon serius dari
pemerintah untuk mencegah dampak yang lebih luas dan memulihkan kondisi yang
sudah rusak,” kata Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.
Logam berat yang mencemari laut tidak berhenti di perairan,
tapi masuk juga ke dalam rantai makanan. Sampel ikan layang, sumber protein
utama masyarakat, ditemukan mengandung merkuri/raksa (Hg), arsen, dan timbal.
Senyawa turunan merkuri, yaitu metilmerkuri, bersifat neurotoksin yang dapat
menembus plasenta dan jaringan darah-otak, sangat berbahaya bagi janin dan
anak-anak. Analisis risiko berdasarkan tingkat konsumsi ikan lokal menunjukkan
bahwa paparan merkuri harian pada balita dapat melebihi batas aman hingga empat
kali lipat.
“Data kami menunjukkan adanya kerusakan nyata dan terukur,
baik di lingkungan maupun sosial-ekonomi. Peningkatan logam berat tidak hanya
merusak laut sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menempatkan masa depan
anak-anak kita dalam risiko kesehatan jangka panjang. Padahal UU No. 1 Tahun
2014 secara tegas melarang aktivitas tambang di pulau kecil seperti Sangihe,”
kata Prof. Dr. Ir. Frans G. Ijong, M.Sc, akademisi dan peneliti Polnustar.
Dampak negatif juga terjadi pada ekonomi masyarakat. Para
nelayan kini menghadapi berbagai tekanan. Selain cuaca ekstrem dan persaingan
dengan nelayan industri yang menggunakan rumpon, kerusakan ekosistem akibat
tambang memperparah kondisi mereka. Laporan EcoNusa dan
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB)
menunjukkan volume tangkapan di Sangihe turun hingga 69,04% setelah aktivitas
tambang marak, terutama untuk ikan cakalang, bobara, baronang, dan kakap merah.
Penurunan tangkapan ikan ini menyebabkan pendapatan nelayan anjlok rata-rata
27,3%.
Di sisi lain, janji kesejahteraan dari sektor tambang tidak
terwujud bagi para pekerja tambang. Sebagian besar bekerja tanpa kontrak dan
pelindungan hukum. Mereka terjebak dalam sistem bagi hasil yang tidak adil,
yang seringkali membuat mereka memiliki lebih banyak utang dibandingkan
pendapatan.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Polnustar dan Greenpeace
Indonesia merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan seluruh aktivitas
pertambangan di Sangihe yang tidak sejalan dengan konsep ekonomi biru dan
ekonomi hijau di Provinsi Sulawesi Utara serta Asta Cita Presiden RI;
menetapkan moratorium penerbitan izin pertambangan baru di Sangihe karena
termasuk pulau kecil; melakukan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove dan
terumbu karang yang rusak; melaksanakan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat,
terutama anak-anak, di sekitar wilayah tambang; serta menetapkan Kepulauan
Sangihe sebagai kawasan pelindungan darat dan laut.
“Sangihe adalah kawasan ekologis yang unik dan tak
tergantikan. Aktivitas pertambangan yang didorong keuntungan jangka pendek ini
akan menimbulkan kerusakan sumber daya alam secara permanen. Pilihan saat ini
adalah bertindak tegas untuk menghentikan perusakan atau membiarkan Sangihe
kehilangan masa depan demi kepentingan segelintir pihak,” tutup Ijong.
Laporan lengkap Polnustar dan Greenpeace dapat diakses
melalui tautan berikut ini: bit.ly/sangihereport
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

