- AHY: Spirit Kurban Pedoman Dalam Pengabdian Bernegara
- BRIN-UNISBA Riset Karakterisasi Sumber Daya Geologi dan Pemanfaatan Mineral Ikutan
- Mentan Ungkap Kejanggalan Data Beras di Cipinang, Diduga Permainan Mafia Pangan
- AHY Dorong UMKM di Indonesia Maju, Berkembang dan Mendunia
- Kisah Gayatri, Istri Raja Pertama Majapahit, Nenek Hayam Wuruk
- Ini Sejumlah Lokasi Berburu Matahari Terbit sambil Wisata Kuliner
- KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Asal Malaysia di Selat Malaka
- Dari Pesisir Nusa Lembongan, PLN Bangun Kemandirian Ekonomi Melalui Rumput Laut
- Beras!
- BRIN Manfaatkan Drone LiDAR Pantau Keberhasilan Konservasi Hutan Mangrove
Imlek: Puisi dan Biografi

Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Referensi Daftar SNBP 2025, Ini 5 PTN dengan Jurusan Akuntansi Terbaik0
- Tidur: Pemerintah dan Puisi0
- Jika Pohon Mati, Kita Pun Mati0
- Keluarga Besar Mapala Stacia UMJ Bertambah 25 Anggota Baru0
- Indonesia: Susu dan Buku0
DI kesusastraan Indonesia,
tercatat nama pengarang menguak kehidupan kalangan peranakan Tionghoa. Ia
berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Pengarang itu bernama Hanna
Fransisca (Zuh Yong Xia), rajin menggubah puisi, cerita pendek, dan drama. Kita
membaca lagi puisi-puisi Hanna Fransisca mumpung bersuasana Imlek.
Ia memang rajin menguak tradisi-tradisi kaum peranakan
Tionghoa di Indonesia tapi sanggup mengajukan protes atau gugatan. Kita mulai
dulu dari puisi mengingat waktu berkaitan tahun baru (Masehi) berlanjut Imlek.
Ia menggubah puisi berjudul “Tahun Baru”, digubah di
Jakarta, 2012. Renungan agak menggelikan: Bintang bersinar, cakrawala luas/
membentang, manis coklat tenggelam dalam/ ceca mimpi yang panjang// Surga
dingin dalam bayang-bayang angin./ “Tuhan, turunkan sebatang coklat padaku.” Di pelbagai kejadian dan pengalaman waktu,
Hanna Fransisca sering mencantumkan dan mengisahkan makanan.
Di tatapan mata, Imlek itu lampu lampion dipasang di
pelbagai tempat dan kembang api. Pembagian dan menikmati kue-kue mencipta
bahagia bersama. Imlek memang makanan. Pada pengertian tontonan, orang-orang
melihat pertunjukan seni. Imlek mengingatkan pelbagai hal.
Kita lekas mengingat silam: pengaruh Tionghoa dalam
peradaban makanan di Indonesia. Di buku berjudul Benih Kayu Dewa Dapur
(2012), Hanna Fransisca suguhkan puisi berjudul “Bakpao Tionghoa”. Kita jangan
cuma berimajinasi makanan itu lezat.
Hanna Fransisca justru bercerita identitas dan ketubuhan.
Kita membaca: Bakpao putih, pipi gadis Tionghoa, jelmaan bangau jelita/ di
atas telaga. Ia tahu kapan ikan birahi/ kapan saat katak remaja kasmaran, yang
mengantar mereka/ pada maut/ di tepi-tepi. Judul puisi itu misteri. Kita
lanjutkan: Hanya lelaki bisa menggambar titik/ tegak di tengah/ sekuat hasrat
membakar/ “Lihat, telah kubikin bakpao seindah gairah/ Satu titik merah di
tengah, mengubah dunia/ menjadi indah.”
Ia tak bermaksud menghadirkan sejarah perkembangan makanan
dalam pengaruh Tionghoa di Nusantara. Puisi ingin membuka kesadaran atas
tanda-tanda lazim dalam lakon peranakan Tionghoa.
Imlek itu makan(an). Ingatan itu milik Onghokham
(1933-2007). Pada masa kecil, ia mengartikan Imlek itu makan(an) digenapi uang.
Di keluarga Onghokham berlaku tiga kalender. Davide Reeve dalam buku berjudul Tetap
Jadi Onghokham: Sejarah Seorang Sejarawan (2024) mengisahkan: “Kehidupan
sehari-hari mengikuti kalender Belanda.
Kalender Jawa digunakan untuk menghitung malam-malam
keberuntungan guna menentukan hari baik, meditasi, pembakaran dupa, dan ritual
(selamatan) untuk kesehatan dan kesuksesan keluarga. Kalender Tionghoa
digunakan untuk menandai perayaan-perayaan Tionghoa, terutama Tahun Baru China
(Imlek) sebagai penanda datangnya musim semi, perlambang pembaruan, dan hari
terpenting…”
Pada hari-hari terpenting, kumpul keluarga dan makan menjadi
usaha mencipta bahagia. Onghokham membentuk biografi dengan makanan-makanan,
termasuk sajian menu saat Imlek di rumah dan kunjungan ke para kerabat. Ingatan
tercatat: “Makanan di masa kanak-kanak yang bagi Ong lezat adalah babi hong
ala Hokkien yang dimasak dengan kecap hitam dan dua hidangan Sumatra (bandeng
dan cumi pindang)”.
Masa lalu itu menentukan Onghokham sebagai juru masak saat
mengadakan pesta makan di rumah dihadiri kaum intelektual dan seniman di
Jakarta. Pada masa bocah, Onghokham menikmati Imlek dalam campuran suka dan
duka. Imlek itu kesibukan dan kelelahan diganjar makanan dan uang.
Onghokham mengingat tradisi keluarga seperti ditulis David
Reeve: “Ketika mengunjungi para kerabat, anak-anak harus menunjukkan diri
sebagai anak baik yang patut menjadi teladan. Masing-masing anak akan diberi
angpau, uang dalam amplop merah, lalu diminta untuk menyanyi. Mereka benci saat
diminta menyanyi dan berusaha menolaknya. Lagu yang mereka hafal hanyalah lagu
yang berbahasa Belanda dari sekolah.”
Onghokham benci bila dipaksa untuk menghibur keluarga dan
kerabat dengan lagu. Ong memiliki album ingatan sering sedih ketimbang girang.
Ia memang menikmati makanan dan menerima uang tapi lelah dan kesibukan
macam-macam mencipta sedih panjang.
Kita kaget dengan pengalaman silam seorang bocah sebelum
menjadi sejarawan: “Ada lebih banyak kunjungan dan tamu-tamu pada sore hari.
Perayaan baru akan berakhir di malam hari. Seingat Ong, dia akan merasa sedih.
Alasan lain Ong tidak menyukai Imlek karena selama berhari-hari, anak-anak akan
tidak terurus. Sementara, orang-orang dewasa sibuk memasak dan membuat
persiapan, Ong sedih karena terabaikan…”
Imlek dalam biografi Onghokham itu berkaitan pembentukan
keluarga dalam masa-masa tak tenang setelah Perang Dunia II. Pengukuhan
identitas dan ikhtiar menjadi Indonesia dalam bimbang. Onghokham menerima
pendidikan selera Belanda. Ia mengetahui Indonesia sedang kacau.
Imlek dalam keluarga memberi pengharapan untuk mencipta masa
depan dan perbaikan nasib meski Onghokham biasa dirundung sedih berulang setiap
tahun. Imlek itu menandai pijakan tradisi berbarengan perubahan-perubahan
sedang terjadi di Indonesia. Pada masa dewasa, Onghokham menghendaki: “…
satu-satunya jalan ke depan adalah orang Tionghoa supaya menjadi lebih
‘Indonesia’, membenamkan diri dalam masyarakat, orang-orang, dan kepentingan
Indonesia.”
Situasi dan kehendak itu berubah saat Soeharto berkuasa.
Babak dinamakan Orde Baru mengesankan tekanan dan pembatasan atas tata
kehidupan kaum peranakan Tionghoa. Imlek bukan sekadar selebrasi waktu. Di
tatapan penguasa, Imlek dan beragam ritual dimengerti dengan politik dan bisnis
mengakibatkan pudar identitas.
Abdurraham Wahid atau Gus Dur (1990) mengingatkan: “Jadi
orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah
ganti nama juga ditanyakan nama asli kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau
jika membuat paspor.” Perbedaan sedang dicipta demi kepentingan kekuasaan.
Perbedaan itu menguak kesenjangan, iri, trauma, konflik, dan ruwet.
Gus Dur berseru agar terjadi tenggang rasa dan rasa saling
menghormati saat penguasa telanjur mencipta masalah-masalah dengan beragam
istilah dan konsekuensi sosial-kultural. Pada suatu masa, Onghokham dan Gus Dur
bersahabat saat menjadi penulis kolom di majalah Tempo dan rajin
mengisahkan kesejarahan berkaitan peranakan Tionghoa di Indonesia.
Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, lakon hidup di Indonesia
berubah. Gus Dur dan pelbagai pihak memberi pemaknaan penting atas selebrasi
Imlek dan kemunculan (kembali) pelbagai hal di kalangan peranakan Tionghoa.
Beragam pengisahan mulai mudah terbaca dalam sastra dan penulisan biografi.
Kini, kita turut mengartikan Imlek bersama puisi-puisi gubahan Hanna Fransisca
dan petikan biografi (Onghokham) sejarawan kondang di Indonesia. Begitu
