Imlek: Puisi dan Biografi

By PorosBumi 29 Jan 2025, 06:30:44 WIB Tilikan
Imlek: Puisi dan Biografi

Bandung Mawardi

Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

DI kesusastraan Indonesia, tercatat nama pengarang menguak kehidupan kalangan peranakan Tionghoa. Ia berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Pengarang itu bernama Hanna Fransisca (Zuh Yong Xia), rajin menggubah puisi, cerita pendek, dan drama. Kita membaca lagi puisi-puisi Hanna Fransisca mumpung bersuasana Imlek.

Ia memang rajin menguak tradisi-tradisi kaum peranakan Tionghoa di Indonesia tapi sanggup mengajukan protes atau gugatan. Kita mulai dulu dari puisi mengingat waktu berkaitan tahun baru (Masehi) berlanjut Imlek.

Ia menggubah puisi berjudul “Tahun Baru”, digubah di Jakarta, 2012. Renungan agak menggelikan: Bintang bersinar, cakrawala luas/ membentang, manis coklat tenggelam dalam/ ceca mimpi yang panjang// Surga dingin dalam bayang-bayang angin./ “Tuhan, turunkan sebatang coklat padaku.”  Di pelbagai kejadian dan pengalaman waktu, Hanna Fransisca sering mencantumkan dan mengisahkan makanan.

Di tatapan mata, Imlek itu lampu lampion dipasang di pelbagai tempat dan kembang api. Pembagian dan menikmati kue-kue mencipta bahagia bersama. Imlek memang makanan. Pada pengertian tontonan, orang-orang melihat pertunjukan seni. Imlek mengingatkan pelbagai hal.

Kita lekas mengingat silam: pengaruh Tionghoa dalam peradaban makanan di Indonesia. Di buku berjudul Benih Kayu Dewa Dapur (2012), Hanna Fransisca suguhkan puisi berjudul “Bakpao Tionghoa”. Kita jangan cuma berimajinasi makanan itu lezat.

Hanna Fransisca justru bercerita identitas dan ketubuhan. Kita membaca: Bakpao putih, pipi gadis Tionghoa, jelmaan bangau jelita/ di atas telaga. Ia tahu kapan ikan birahi/ kapan saat katak remaja kasmaran, yang mengantar mereka/ pada maut/ di tepi-tepi. Judul puisi itu misteri. Kita lanjutkan: Hanya lelaki bisa menggambar titik/ tegak di tengah/ sekuat hasrat membakar/ “Lihat, telah kubikin bakpao seindah gairah/ Satu titik merah di tengah, mengubah dunia/ menjadi indah.”

Ia tak bermaksud menghadirkan sejarah perkembangan makanan dalam pengaruh Tionghoa di Nusantara. Puisi ingin membuka kesadaran atas tanda-tanda lazim dalam lakon peranakan Tionghoa.

Imlek itu makan(an). Ingatan itu milik Onghokham (1933-2007). Pada masa kecil, ia mengartikan Imlek itu makan(an) digenapi uang. Di keluarga Onghokham berlaku tiga kalender. Davide Reeve dalam buku berjudul Tetap Jadi Onghokham: Sejarah Seorang Sejarawan (2024) mengisahkan: “Kehidupan sehari-hari mengikuti kalender Belanda.

Kalender Jawa digunakan untuk menghitung malam-malam keberuntungan guna menentukan hari baik, meditasi, pembakaran dupa, dan ritual (selamatan) untuk kesehatan dan kesuksesan keluarga. Kalender Tionghoa digunakan untuk menandai perayaan-perayaan Tionghoa, terutama Tahun Baru China (Imlek) sebagai penanda datangnya musim semi, perlambang pembaruan, dan hari terpenting…”

Pada hari-hari terpenting, kumpul keluarga dan makan menjadi usaha mencipta bahagia. Onghokham membentuk biografi dengan makanan-makanan, termasuk sajian menu saat Imlek di rumah dan kunjungan ke para kerabat. Ingatan tercatat: “Makanan di masa kanak-kanak yang bagi Ong lezat adalah babi hong ala Hokkien yang dimasak dengan kecap hitam dan dua hidangan Sumatra (bandeng dan cumi pindang)”.

Masa lalu itu menentukan Onghokham sebagai juru masak saat mengadakan pesta makan di rumah dihadiri kaum intelektual dan seniman di Jakarta. Pada masa bocah, Onghokham menikmati Imlek dalam campuran suka dan duka. Imlek itu kesibukan dan kelelahan diganjar makanan dan uang.

Onghokham mengingat tradisi keluarga seperti ditulis David Reeve: “Ketika mengunjungi para kerabat, anak-anak harus menunjukkan diri sebagai anak baik yang patut menjadi teladan. Masing-masing anak akan diberi angpau, uang dalam amplop merah, lalu diminta untuk menyanyi. Mereka benci saat diminta menyanyi dan berusaha menolaknya. Lagu yang mereka hafal hanyalah lagu yang berbahasa Belanda dari sekolah.”

Onghokham benci bila dipaksa untuk menghibur keluarga dan kerabat dengan lagu. Ong memiliki album ingatan sering sedih ketimbang girang. Ia memang menikmati makanan dan menerima uang tapi lelah dan kesibukan macam-macam mencipta sedih panjang.

Kita kaget dengan pengalaman silam seorang bocah sebelum menjadi sejarawan: “Ada lebih banyak kunjungan dan tamu-tamu pada sore hari. Perayaan baru akan berakhir di malam hari. Seingat Ong, dia akan merasa sedih. Alasan lain Ong tidak menyukai Imlek karena selama berhari-hari, anak-anak akan tidak terurus. Sementara, orang-orang dewasa sibuk memasak dan membuat persiapan, Ong sedih karena terabaikan…”

Imlek dalam biografi Onghokham itu berkaitan pembentukan keluarga dalam masa-masa tak tenang setelah Perang Dunia II. Pengukuhan identitas dan ikhtiar menjadi Indonesia dalam bimbang. Onghokham menerima pendidikan selera Belanda. Ia mengetahui Indonesia sedang kacau.

Imlek dalam keluarga memberi pengharapan untuk mencipta masa depan dan perbaikan nasib meski Onghokham biasa dirundung sedih berulang setiap tahun. Imlek itu menandai pijakan tradisi berbarengan perubahan-perubahan sedang terjadi di Indonesia. Pada masa dewasa, Onghokham menghendaki: “… satu-satunya jalan ke depan adalah orang Tionghoa supaya menjadi lebih ‘Indonesia’, membenamkan diri dalam masyarakat, orang-orang, dan kepentingan Indonesia.”

Situasi dan kehendak itu berubah saat Soeharto berkuasa. Babak dinamakan Orde Baru mengesankan tekanan dan pembatasan atas tata kehidupan kaum peranakan Tionghoa. Imlek bukan sekadar selebrasi waktu. Di tatapan penguasa, Imlek dan beragam ritual dimengerti dengan politik dan bisnis mengakibatkan pudar identitas.

Abdurraham Wahid atau Gus Dur (1990) mengingatkan: “Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama juga ditanyakan nama asli kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor.” Perbedaan sedang dicipta demi kepentingan kekuasaan. Perbedaan itu menguak kesenjangan, iri, trauma, konflik, dan ruwet.

Gus Dur berseru agar terjadi tenggang rasa dan rasa saling menghormati saat penguasa telanjur mencipta masalah-masalah dengan beragam istilah dan konsekuensi sosial-kultural. Pada suatu masa, Onghokham dan Gus Dur bersahabat saat menjadi penulis kolom di majalah Tempo dan rajin mengisahkan kesejarahan berkaitan peranakan Tionghoa di Indonesia.

Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, lakon hidup di Indonesia berubah. Gus Dur dan pelbagai pihak memberi pemaknaan penting atas selebrasi Imlek dan kemunculan (kembali) pelbagai hal di kalangan peranakan Tionghoa. Beragam pengisahan mulai mudah terbaca dalam sastra dan penulisan biografi. Kini, kita turut mengartikan Imlek bersama puisi-puisi gubahan Hanna Fransisca dan petikan biografi (Onghokham) sejarawan kondang di Indonesia. Begitu




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment