- Seruan Serikat Petani Indonesia Pasca Protes dan Kerusuhan Agustus
- Mendorong Koeksistensi Manusia dan Orangutan Tapanuli
- UNAS dan Kedubes Malaysia Inisiasi Penanaman Mangrove di Desa Sukawali, Tangerang
- Pegunungan Dolok Paung Tidak Lagi Memberi Air Kehidupan Bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan
- Kembalinya Operasi PT Gag Nikel Kabar Buruk Bagi Upaya #SaveRajaAmpat
- Gatal Kepala dan Sebal
- Oki Setiana Dewi Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Jakarta
- HUT ke 24 PD, SBY Melukis Only The Strong Langsung di Hadapan Ratusan Kader Demokrat
- Greenpeace Asia Tenggara Bawa Cerita #SaveRajaAmpat ke Forum PBB, Desak Tata Kelola Nikel
- Spirit dan Kesyahduan Peringatan Maulid Nabi Musola Nurul Hikmah dan Yayasan Ihsan Nur
Banjir di Tengah Musim Kemarau: Bukti Krisis Iklim Semakin Nyata
.jpg)
JAKARTA – Curah hujan tinggi yang
masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada periode Juli, yang seharusnya
merupakan puncak musim kemarau, menjadi pertanda ancaman krisis iklim bukan
lagi menjadi isapan jempol. Alih-alih memasuki musim kering, sejumlah daerah
justru dilanda banjir tidak terkecuali Jabodetabek, dan kota Mataram di
NTB.
Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dinamika atmosfer yang tak biasa,
seperti lemahnya monsun Australia, suhu muka laut yang tetap hangat, serta
aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO),
gelombang Kelvin, dan Rossby, telah memicu pola cuaca yang tidak stabil dan
menyebabkan hujan deras di periode yang semestinya kering.
Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kondisi ini bukan
sekadar anomali musiman, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari krisis
iklim yang selama ini diabaikan oleh pengambil kebijakan. Pendidihan global
yang didorong oleh emisi gas rumah kaca, sebagian besar bersumber dari energi
fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif, telah menyebabkan gangguan
sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah
Indonesia. Ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim
kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.
Baca Lainnya :
- Suntik Terus Tapi Tak Sembuh: Garuda Butuh Operasi, Bukan Obat Ringan0
- Pembangunan Terminal Khusus Perusahaan Tambang Nikel PT STS di Haltim Diduga Melanggar Aturan0
- AHY Ungkap 3 Langkah Konret Tantangan Urbanisasi di BRICS0
- Penertiban Taman Nasional Tesso Nilo Harus Menyasar Pebisnis Besar Dahulu0
- Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota0
“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim
yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah
peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia.
Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan
melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Bondan
Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk
segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan
berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan
pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber
daya alam. Pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera
beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan.
Meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 Indonesia
mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton,
melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya
(775 juta ton). Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat
Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir
bandang, hingga krisis air bersih.
Sementara, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah
melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui RUPTL semakin jauh dari
komitmen transisi energi, dan masih akan bergantung pada energi fosil hingga
2060. Dalam RUPTL yang disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan
pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt
dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.
Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada
kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik
secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30
tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis
pembangkit tersebut. Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu
bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060.
Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan
hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju
penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga
2023.
“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan
berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah
adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling
terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan,
peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada
kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” lanjut
Bondan.
Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang
progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. Namun, RUU ini tidak boleh
menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau
proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut
hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi
sejati.
