- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, BRIN Ingatkan Bahaya Polusi dari Langit
1.jpg)
JAKARTA – Air hujan yang selama
ini dianggap simbol kesegaran ternyata tidak sepenuhnya bersih. Hasil
penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa air hujan
di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya yang berasal dari
aktivitas manusia di perkotaan. Temuan ini menjadi peringatan bahwa polusi
plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer.
Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan bahwa
penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam
setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis
tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat
aktivitas manusia.
“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu
kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di
ruang terbuka,” jelas Reza saat diwawancarai di Jakarta, Kamis (17/10).
Baca Lainnya :
- Tiga Anak SMA Ini Sulap Limbah Makanan Jadi Pakan Unggas 0
- Unas, Kedubes Malaysia, TNI AL dan KIH Tanam 10.000 Mangrove di Pesisir Kampung Bahari Nusantara0
- Gagap Urus Radiasi Radioaktif, Masih Mimpi Bangun PLTN? 0
- Masyarakat Sipil Nilai Puncak Penurunan Emisi Molor Ke 20370
- Jadi Pembina Kawasan Sungai Cipinang, MIND ID Komitmen Dukung Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan0
Reza menjelaskan, mikroplastik yang ditemukan umumnya
berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil plastik, terutama polimer seperti
poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena dari ban
kendaraan. Rata-rata, peneliti menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per
meter persegi per hari pada sampel hujan di kawasan pesisir Jakarta.
Menurut Reza, fenomena ini terjadi karena siklus plastik
kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui
debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin
dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric
microplastic deposition.
“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit,
berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” ujarnya.
Temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel
mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa,
sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.
Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA),
dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel
mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti
hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.
“Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel
mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap
polutan lain,” tegas Reza.
Meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, studi global
menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan
serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan.
Dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air
permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.
Reza menilai, gaya hidup urban modern menjadi salah satu
penyebab utama meningkatnya mikroplastik di atmosfer. Dengan populasi lebih
dari 10 juta jiwa dan kendaraan mencapai 20 juta unit, Jakarta menghasilkan
limbah plastik dalam jumlah besar setiap hari. “Sampah plastik sekali pakai
masih banyak, dan pengelolaannya belum ideal. Sebagian dibakar terbuka atau
terbawa air hujan ke sungai,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan ini, BRIN mendorong langkah
konkret lintas sektor. Pertama, memperkuat riset dan pemantauan kualitas udara
dan air hujan secara rutin di kota-kota besar. Kedua, memperbaiki pengelolaan
limbah plastik di hulu, termasuk pengurangan plastik sekali pakai dan
peningkatan fasilitas daur ulang. Ketiga, mendorong industri tekstil agar
menerapkan sistem filtrasi pada mesin cuci guna menahan pelepasan serat
sintetis.
Selain itu, edukasi publik menjadi kunci penting. Reza
mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik, memilah sampah, dan
tidak membakar limbah sembarangan. “Kesadaran masyarakat bisa menekan polusi
mikroplastik secara signifikan,” ujarnya.
Menurutnya, hujan yang kini mengandung partikel plastik
adalah refleksi dari perilaku manusia terhadap bumi. “Langit Jakarta sebenarnya
sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang
sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena
malas memilah semuanya kembali pada kita dalam bentuk yang lebih halus, lebih
senyap, tapi jauh lebih berbahaya.,” tutup Reza. (sj,mrc/ed:pur)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

